Pesatnya perkembangan
teknologi berbanding lurus dengan semakin maraknya penggunaan media sosial di
kalangan masyarakat. Masyarakat yang dulu mengenal media sosial semacam Facebook,
Twitter kini mulai beralih menggunakan Instagram, Line, Tik Tok, dan media
sosial baru lainnya. Ditambah jumlah pengguna masing-masing media sosial
tersebut semakin meningkat setiap harinya, hal ini menjadikan media sosial
salah satu dari bagian kehidupan masyarakat urban.
Perkembangan media
sosial, tidak bisa dipungkiri, merupakan salah satu pembahasan yang cukup
menarik untuk dibahas. Menurut salah satu artikel yang dipublish oleh Iran
Indonesia Radio, ‘media sosial dewasa ini telah merambah ke berbagai dimensi
yang diakses oleh hampir seluruh lapisan masyarakat.’ Namun, lanjutnya lagi,
hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa media sosial dapat menjadi suatu
ancaman. Ancaman ini, oleh beberapa ahli ditemukan pada ancaman penggunaan
bahasa media sosial, atau yang dikenal dengan sebutan ‘bahasa gaul’ terhadap
keorisinilan bahasa ibu.
Bahasa gaul merupakan
bahasa yang dikenal dalam dunia pergaulan. Istilah ini muncul pada tahun
1980-an yang pada saat itu bahasa gaul diartikan sebagai bahasanya para
bajingan dan anak jalanan (Pradana, 2012). Namun, seiring dengan perkembangan
zaman, bahasa gaul kini mulai dikenal luas sebagai bahasa modern. Pesatnya
perkembangan bahasa gaul, menunjukan bahwa masyarakat Indonesia semakin akrab
dengan dunia teknologi terutama internet ‘karena suatu bahasa harus menyesuaikan
dengan masyarakat penggunanya agar tetap eksis’ (Pradana, 2012).
Banyaknya kemudahan
yang ditawarkan dalam dunia sosial, terutama kemudahan bahasa. Tersedianya
berbagai bahasa di dunia, bagi penikmatnya berakibat pada semakin banyaknya pengunjung
media sosial setiap harinya. Tidak adanya batasan sosial dan bahasa semakin memperkuat
maraknya perkembangan bahasa gaul di kalangan masyarakat. Sebagai contoh, fenomena
bahasa alay. Bahasa alay merupakan suatu fenomena yang muncul di kalangan remaja.
Fenomena ini, menurut beberapa pustakawan terjadi karena adanya pemberontakan pada
diri remaja terhadap tata bahasa. Menurut Owen (Papilia, 2004) remaja memiliki kepekaan
terhadap kata-kata bermakna ganda. Mereka menyukai penggunaan metafora, ironi, dan
bermain kata-kata untuk mengungkapkan pendapat dan ekspresi mereka. Selain itu,
remaja juga sangat kreatif dalam bermain kata-kata.
Umumnya, penggunaan
bahasa alay ini banyak ditemukan pada postingan remaja di berbagai media sosial.
Namun, penggunaan bahasa alay ini memiliki efek domino terhadap remaja lainnya.
Rata-rata dari mereka akan menyerap dan meniru apa yang telah teman mereka post.
Karena, menurut mereka hal tersebut merupakan sesuatu yang ngetren. Seperti
contoh penggunaan metafora ‘bingung tingkat dewa’, ‘kesel setengah mampus’, yang
mengekspresikan kebingungan dan kekesalan luar biasa yang sedang mereka alami. Adapula
penggunaan kata-kata yang mereka reduksi sendiri menjadi sebuah kata baru, seperti
‘warbiyazah’, yang sekilas terlihat seperti serapan dari bahasa arab. Padahal
kata tersebut merupakan reduksi dari frase ‘luar biasa’ yang direduksi agar
memiliki makna berlipat.
Kebiasaan menggunakan
bahasa gaul dalam media sosial berakibat pada sulitnya masyarakat Indonesia berkomunikasi
dalam lingkungan formal. Misalnya, ketika mereka harus mempresentasikan sesuatu
atau membuat makalah berbahasa Indonesia. Beberapa penelitian menemukan bahwa
gaya bahasa yang digunakan oleh remaja di Indonesia kebanyakan sudah tercampur dengan
bahasa gaul. Dalam suatu situasi pembelajaran, ketika akan mempresentasikan
sesuatu di depan kelas, remaja Indonesia pada umumnya menggunakan kata‘mempresentasiin’
ketimbang ‘mempresentasikan’
Kekhawatiran akan
semakin maraknya penggunaan bahasa gaul/bahasa alay pada media sosial tentulah
beralasan. Bahasa gaul/alay dianggap sebagai ancaman yang serius terhadap kaidah
tata bahasa Indonesia, karena meskipun dalam dunia linguistik dikenal dengan
bahasa baku dan tidak baku, bahasa alay adalah bahasa tidak baku yang tidak
mengindah. Selain itu, sifat dari media sosial yang membuat penikmatnya asik
dengan dunia maya mereka masing-masing membuat mereka malas berkomunikasi di
dunia nyata. Akibatnya, karena sering berinteraksi di media sosial dengan
bahasa gaul/alay, tingkat pemahaman bahasapun akan terganggu.
Apabila hal ini
dibiarkan terus menerus dan tidak dilakukan pencegahan, lama-lama bahasa gaul inipun
akan bersifat arbiter. Hilanglah sudah keorisinilan bahasa ibu kita, bahasa Indonesia.
Maka, untuk menghidari hal ini perlu adanya upaya untuk menanamkan dan menumbuhkan
kecintaan terhadap pemahaman bahasa Indonesia. Salah satu upaya yang telah terbukti
efektif adalah pendekatan pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan media
sosial dalam membantu siswa memahami kaidah tata bahasa Indonesia yang baik dan
benar. Selain media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia,
terutama kaum remaja, upaya ini juga dilatarbelakangi fenomena remaja masa kini
yang lebih banyak berinteraksi di dunia maya.
Sebenarnya, ada banyak sekali
upaya-upaya pencegahan yang dapat kita lakukan agar perkembangan bahasa gaul di
media sosial ini tidak berkembang dengan pesat. Seperti yang kita ketahui bahwa
jika suatu bahasa digunakan secara terus-menerus dan diterima di masyarakat,
maka akan munculnya pengakuan sehingga bahasa tersebut sah digunakan. Namun,
dibalik semua upaya yang dapat dilakukan, sebenarnya upaya terbesar datang dari
diri kita sendiri. Upaya penyadaran diri akan kaidah tata bahasa yang baik dan
benar.